Henry Dunant
Lahir :
|
|
Meninggal
|
|
Kebangsaan
|
|
Pekerjaan
|
aktivis
sosial, pebisnis, penulis
|
Dikenal karena
|
Pendiri Palang Merah
|
Agama
|
|
Orang tua
|
Jean-Jacques
Dunant
Antoinette Dunant-Colladon |
Penghargaan
|
Nobel Perdamaian (1901)
|
Henry Dunant, adalah
pengusaha dan aktivis sosial Swiss. Ketika melakukan perjalanan untuk urusan bisnis pada tahun 1859, dia menyaksikan akibat-akibat dari Pertempuran Solferino, sebuah lokasi yang dewasa ini merupakan bagian Italia. Kenangan dan pengalamannya itu dia tuliskan dalam sebuah buku dengan judul A Memory of Solferino (Kenangan Solferino), yang menginspirasi pembentukan Komite Internasional Palang Merah (ICRC) pada tahun 1863. Konvensi Jenewa 1864 didasarkan pada gagasan-gagasan Dunant. Pada tahun 1901, dia menerima Penghargaan Nobel Perdamaian yang pertama, bersama dengan Frédéric Passy.
pengusaha dan aktivis sosial Swiss. Ketika melakukan perjalanan untuk urusan bisnis pada tahun 1859, dia menyaksikan akibat-akibat dari Pertempuran Solferino, sebuah lokasi yang dewasa ini merupakan bagian Italia. Kenangan dan pengalamannya itu dia tuliskan dalam sebuah buku dengan judul A Memory of Solferino (Kenangan Solferino), yang menginspirasi pembentukan Komite Internasional Palang Merah (ICRC) pada tahun 1863. Konvensi Jenewa 1864 didasarkan pada gagasan-gagasan Dunant. Pada tahun 1901, dia menerima Penghargaan Nobel Perdamaian yang pertama, bersama dengan Frédéric Passy.
Masa muda dan pendidikan Dunant
Dunant lahir di Jenewa, Swiss, putra pertama dari
pengusaha Jean-Jacques Dunant dan istrinya Antoinette Dunant-Colladon.
Keluarganya adalah penganut mashab Kalvin (''Calvinist'') yang taat serta mempunyai pengaruh
yang signifikan di kalangan masyarakat Jenewa. Kedua orangtuanya menekankan
pentingnya nilai kegiatan sosial. Ayahnya aktif membantu anak yatim-piatu dan
narapidana yang menjalani bebas bersyarat, sedangkan ibunya melakukan kegiatan
sosial membantu orang sakit dan kaum miskin.
Dunant tumbuh pada masa kebangkitan kesadaran beragama
yang dikenal dengan nama Réveil. Pada usia 18 tahun, dia bergabung dengan Perhimpunan
Amal Jenewa (Geneva Society for Alms
Giving). Pada
tahun berikutnya, bersama teman-temannya, dia mendirikan perkumpulan yang
disebut ”Thursday Association”, sebuah kelompok anak muda tanpa ikatan
keanggotaan resmi yang melakukan pertemuan rutin untuk mempelajari Bibel dan
menolong kaum miskin. Waktu senggangnya banyak dia habiskan untuk mengunjungi
penjara dan melakukan kegiatan sosial. Pada tanggal 30 November 1852, Dunant
mendirikan cabang YMCA di Jenewa. Tiga tahun kemudian, dia
berpartisipasi dalam pertemuan Paris yang bertujuan membentuk YMCA menjadi
sebuah organisasi internasional.
Pada tahun 1849, ketika berusia 21, Dunant terpaksa
meninggalkan Kolese Kalvin (Collège Calvin) karena prestasi akademisnya buruk.
Dia kemudian menjadi pekerja magang di perusahaan penukaran uang bernama Lullin
et Sautter. Setelah masa magangnya selesai dengan prestasi baik, dia
diangkat sebagai karyawan bank tersebut.
Aljazair
Pada tahun 1853, Dunant mengunjungi Aljazair, Tunisia,
dan Sisilia karena ditugaskan oleh perusahaan yang melayani “wilayah-wilayah
jajahan Setif”, yaitu perusahaan bernama Compagnie genevoise de Colonies de
Sétif. Meskipun pengalamannya kurang, Dunant berhasil menyelesaikan
penugasan tersebut dengan memuaskan. Terinspirasi oleh pengalaman perjalanan
tersebut, Dunant untuk pertama kalinya menulis sebuah buku, yang dia beri judul
Notice sur la Régence de Tunis (Kisah tentang Regensi di Tunisia). Buku
ini diterbitkan pada tahun 1858.
Pada tahun 1856, Dunant mendirikan perusahaan yang
beroperasi di wilayah-wilayah jajahan luar negeri dan, setelah memperoleh
konsesi lahan dari Aljazair yang ketika itu berada di bawah pendudukan Prancis,
dia juga mendirikan perusahaan perkebunan dan perdagangan jagung bernama Société
financière et industrielle des Moulins des Mons-Djémila (Perusahaan
Keuangan dan Industri Penggilingan Mons-Djémila). Namun, lahan dan hak atas air
yang dijanjikan tidak kunjung ditetapkan dengan jelas, sedangkan otoritas
kolonial di Aljazair juga bersikap kurang kooperatif. Oleh karena itu, Dunant
memutuskan untuk meminta bantuan secara langsung kepada Kaisar Napoleon III dari Perancis, yang ketika itu sedang berada di
Lombardi bersama pasukannya. Prancis sedang berperang di pihak
Piedmont-Sardinia melawan Austria, yang ketika itu menduduki banyak dari
wilayah yang dewasa ini bernama Italia. Markas Napoleon terletak di kota kecil
bernama Solferino. Dunant menulis sebuah buku yang
isinya penuh sanjungan dan pujian bagi Napoleon III untuk dia hadiahkan kepada
kaisar tersebut. Kemudian dia melakukan perjalanan ke Solferino untuk bertemu
secara pribadi dengan Napoleon III.
Pertempuran Solferino
Dunant tiba di Solferino pada petang hari tanggal 24
Juni 1859, tepat ketika pertempuran antara kedua pihak tadi baru saja selesai.
Sekitar 38 ribu prajurit bergeletakan di medan tempur dalam keadaan terluka,
sekarat, atau tewas, dan tidak tampak ada upaya yang berarti yang dilakukan
untuk memberikan perawatan kepada mereka. Dalam keadaan terguncang melihat
pemandangan itu, Dunant berinisiatif mengerahkan penduduk sipil setempat,
terutama kaum perempuan, untuk memberikan pertolongan kepada para prajurit yang
terluka dan sakit. Karena persediaan alat-alat dan obat-obatan yang diperlukan
tidak memadai, Dunant sendiri mengatur pembelian material yang dibutuhkan itu
serta membantu mendirikan rumah sakit darurat. Dia berhasil meyakinkan penduduk
setempat untuk melayani para korban luka tanpa melihat di pihak mana mereka
bertempur, sesuai dengan slogan “Tutti fratelli” (Kita semua bersaudara)
yang diciptakan oleh kaum perempuan dari kota Castiglione delle Stiviere tak
jauh dari tempat itu. Dia juga berhasil membujuk pihak Prancis untuk
membebaskan dokter-dokter Austria yang mereka tawan.
Palang Merah
Sekembalinya ke Jenewa pada awal bulan Juli, Dunant
memutuskan menulis sebuah buku tentang pengalamannya itu, yang kemudian dia
beri judul Un Souvenir de Solferino (Kenangan Solferino). Buku ini
diterbitkan pada tahun 1862 dengan jumlah 1.600 eksemplar, yang dicetak atas
biaya Dunant sendiri. Dalam buku ini, Dunant melukiskan pertempuran yang
terjadi, berbagai ongkos pertempuran tersebut, dan keadaan kacau-balau yang
ditimbulkannya. Dia juga mengemukakan gagasan tentang perlunya dibentuk sebuah
organisasi netral untuk memberikan perawatan kepada prajurit-prajurit yang
terluka. Buku ini dia bagikan kepada banyak tokoh politik dan militer di Eropa.
Dunant juga memulai perjalanan ke seluruh Eropa untuk
mempromosikan gagasannya. Buku tersebut mendapat sambutan yang sangat positif.
Presiden Geneva Society for Public Welfare (Perhimpunan Jenewa untuk
Kesejahteraan Umum), yaitu seorang ahli hukum bernama Gustave Moynier, mengangkat buku ini beserta
usulan-usulan Dunant di dalamnya sebagai topik pertemuan organisasi tersebut
pada tanggal 9 Februari 1863. Para anggota organisasi tersebut mengkaji
usulan-usulan Dunant dan memberikan penilaian positif. Mereka kemudian
membentuk sebuah Komite yang terdiri atas lima orang untuk menjajaki lebih
lanjut kemungkinan mewujudkan ide-ide Dunant tersebut, dan Dunant diangkat
sebagai salah satu anggota Komite ini. Keempat anggota lain dalam Komite ini
ialah Gustave Moynier, jenderal angkatan bersenjata Swiss bernama Henri Dufour, dan dua orang dokter yang
masing-masing bernama Louis Appia dan Théodore Maunoir. Komite ini mengadakan pertemuan
yang pertama kali pada tanggal 17 Februari 1863, yang sekarang dianggap sebagai
tanggal berdirinya Komite Internasional Palang Merah (ICRC).
Dari awal, Moynier dan Dunant saling berbeda pendapat
dan bertikai menyangkut visi dan rencana mereka masing-masing, dan
ketidaksepahaman mereka itu semakin lama semakin besar. Moynier menganggap ide
Dunant tentang perlunya ditetapkan perlindungan kenetralan bagi para pemberi
perawatan sebagai gagasan yang sulit diterima akal serta menasihati Dunant
untuk tidak bersikeras memaksakan konsep tersebut. Namun, Dunant terus
menganjurkan pendiriannya itu dalam setiap perjalanannya dan dalam setiap
pembicaraannya dengan pejabat-pejabat politik dan militer tingkat tinggi. Ini
semakin mempersengit konflik pribadi antara Moynier, yang memakai pendekatan
pragmatis terhadap proyek tersebut, dan Dunant, yang merupakan idealis visioner
di antara kelima anggota Komite itu. Pada akhirnya, Moynier berusaha menyerang
dan menggagalkan Dunant ketika Dunant mencalonkan diri untuk posisi ketua
Komite.
Pada bulan Oktober 1863, 14 negara berpartisipasi
dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh Komite tersebut di Jenewa untuk
membahas masalah perbaikan perawatan bagi prajurit terluka. Namun, Dunant
sendiri hanya menjadi ketua protokoler dalam pertemuan tersebut sebagai akibat
dari usaha Moynier untuk memperkecil perannya. Setahun kemudian, pada tanggal
22 Agustus 1864, sebuah konferensi diplomatik yang diselenggarakan oleh
Parlemen Swiss membuahkan hasil berupa ditandatanganinya Konvensi Jenewa Pertama oleh 12 negara. Untuk
konferensi ini pun, Dunant hanya bertugas sebagai pengatur akomodasi bagi
peserta.
Masa yang terlupakan
Bisnis Dunant di Aljazair mengalami kemunduran,
sebagian karena devosinya pada cita-cita humanistiknya sendiri. Pada bulan
April 1867, bangkrutnya perusahaan keuangan Crédit Genevois
mengakibatkan sebuah skandal yang melibatkan Dunant. Dia dipaksa menyatakan
pailit dan divonis bersalah oleh Pengadilan Dagang Jenewa pada tanggal 17
Agustus 1868 atas praktik penipuan dalam kasus kebangkrutan tersebut.
Keluarganya dan banyak dari teman-temannya sangat terkena dampak dari
bankrutnya Crédit Genevois karena mereka banyak berinvestasi dalam
perusahaan ini. Masyarakat di Jenewa, sebuah kota dengan tradisi Kalvin yang
berakar mendalam, menjadi gusar dan heboh sehingga muncul seruan-seruan agar
Dunant mengundurkan diri dari Komite Internasional Palang Merah.
Pada tanggal 25 Agustus 1868, dia mengundurkan diri
dari jabatannya sebagai Sekretaris Komite dan, pada tanggal 8 September, dia
dikeluarkan sepenuhnya dari Komite. Moynier, yang menjadi Presiden Komite sejak
1864, berperan besar dalam menyingkirkan Dunant dari Komite.
Pada bulan Februari 1868, ibu Dunant meninggal dunia.
Pada akhir tahun itu, Dunant juga dikeluarkan dari YMCA. Pada bulan Maret 1867,
dia meninggalkan kota kelahirannya, Jenewa, dan tidak pernah kembali lagi ke
sana. Pada tahun-tahun berikutnya, Moynier tampaknya berusaha mempergunakan
pengaruhnya untuk memastikan bahwa Dunant jangan sampai menerima bantuan atau
dukungan dari teman-temannya. Misalnya, hadiah medali emas Sciences Morales
di Pekan Raya Dunia Paris tidak jadi diberikan kepada Dunant sesuai rencana
semula, tetapi diberikan kepada Moynier, Dufour, dan Dunant bersama-sama
sehingga seluruh uang hadiah tersebut menjadi hak Komite. Tawaran Napoleon III
untuk mengambilalih separuh dari kewajiban utang Dunant dengan syarat
teman-teman Dunant menjamin pelunasan yang separuh lagi juga digagalkan oleh
usaha Moynier.
Dunant pindah ke Paris dan hidup di sana dalam keadaan
berkekurangan. Namun, dia terus berupaya mewujudkan gagasan dan rencana
kemanusiaannya. Selama berlangsungnya Perang Prancis-Prusia (1870-1871), dia
mendirikan Perhimpunan Bantuan Kemanusiaan Bersama (''Allgemeine
Fürsorgegesellschaft'') dan, tak lama setelah itu, dia mendirikan Aliansi Bersama untuk
Ketertiban dan Peradaban (''Allgemeine Allianz für
Ordnung und Zivilisation''). Dunant berargumen tentang perlunya diadakan perundingan perlucutan
senjata dan perlunya didirikan sebuah pengadilan internasional untuk memediasi
konflik internasional. Kemudian, dia mengupayakan terbentuknya perpustakaan
dunia, sebuah gagasan yang mempunyai gema dalam berbagai proyek di kemudian
hari, antara lain UNESCO.
Dalam usahanya yang tak pernah berhenti untuk
menganjurkan dan mewujudkan gagasan-gagasannya, Dunant semakin mengabaikan
situasi keuangan pribadinya sehingga dia semakin terlilit utang dan dijauhi
oleh kenalan-kenalannya. Meskipun diangkat sebagai anggota kehormatan
Perhimpunan Palang Merah Austria, Belanda, Swedia, Prusia, dan Spanyol, dia
nyaris dilupakan dalam perjalanan resmi Gerakan Palang Merah, pun ketika
Gerakan ini berkembang pesat ke negara-negara lain. Dunant hidup dalam
kemiskinan dan berpindah-pindah tempat antara 1874-1886, termasuk Stuttgart,
Roma, Korfu, Basel, dan Karlsruhe. Di Stuttgart, Dunant bertemu mahasiswa
Universitas Tübingan (Tübingen University) bernama Rudolf Müller dan
kemudian bersahabat karib dengannya. Pada tahun 1881, bersama-sama dengan
sejumlah teman dari Stuttgart, Dunant untuk pertama kalinya pergi ke Heiden,
sebuah desa peristirahatan di Swiss. Pada 1887, ketika tinggal di London, dia
mulai menerima bantuan keuangan bulanan dari sejumlah kerabat jauh. Ini
memungkinkan dia untuk hidup dalam kondisi keuangan yang lebih aman. Dunant
pindah ke Heiden pada bulan Juli 1887 dan tinggal di desa tersebut selama sisa
hidupnya. Sejak 30 April 1892, dia tinggal di rumah sakit dan panti jompo yang
dipimpin oleh Dr. Hermann Altherr.
Di Heiden, dia bertemu dengan seorang guru muda
bernama Wilhelm Sonderegger dan istrinya Susanna. Mereka mendorongnya untuk
mencatat pengalaman hidupnya. Istri Sonderegger mendirikan cabang Palang Merah
di Heiden dan, pada tahun 1890, Dunant menjadi presiden kehormatan cabang
tersebut. Dengan adanya Sonderegger, Dunant berharap akan dapat mempromosikan
gagasan-gagasannya lebih lanjut, termasuk menerbitkan edisi baru bukunya.
Namun, persahabatan mereka di kemudian hari menjadi tegang karena Dunant
melontarkan tuduhan yang tak dapat dibenarkan bahwa Sonderegger, bersama
Moynier di Jenewa, berkonspirasi menentangnya. Sonderegger meninggal pada tahun
1904, di usianya yang baru mencapai 42 tahun. Meskipun hubungan mereka tegang,
Dunant sangat terharu dengan kematian Sonderegger yang tak terduga-duga itu.
Kekaguman Wilhelm dan Susanna Sonderegger atas Dunant, yang tetap mereka
rasakan walaupun Dunant melontarkan tuduhan tersebut, terwariskan kepada
anak-anak mereka. Pada tahun 1935, putra mereka, yaitu René, menerbitkan
kumpulan surat-surat yang ditulis Dunant kepada ayahnya.
Kembali diingat publik
Pada bulan September 1895, Georg Baumberger, editor
kepala Die Ostschweiz, sebuah surat kabar yang terbit di St. Gall, menulis
sebuah artikel tentang pendiri Palang Merah tersebut, yang pernah bertemu dan
mengobrol dengannya ketika mereka sedang berjalan-jalan di Heiden sebulan
sebelumnya. Artikel ini berjudul “Henri Dunant, pendiri Palang Merah” (Henri
Dunant, the founder of the Red Cross) dan muncul di sebuah majalah
bergambar terbitan Jerman, Über Land und Meer. Dengan segera artikel ini
direproduksi di berbagai media lain di seluruh Eropa. Artikel tersebut mendapat
sambutan hangat sehingga Dunant kembali memperoleh perhatian dan dukungan khalayak.
Dia kemudian menerima Hadiah Binet-Fendt Swiss dan sebuah surat dari Paus Leo
XIII. Berkat bantuan dari janda tsar Rusia, yaitu Maria Feodorovna, dan donasi
lain dari berbagai pihak, situasi keuangan Dunant sangat membaik.
Pada tahun 1897, Rudolf Müller, yang saat itu sudah
bekerja sebagai guru di Stuttgart, menulis sebuah buku tentang asal-mula Palang
Merah. Isi buku ini mengubah sejarah resmi Palang Merah dengan menekankan peran
Dunant. Buku ini juga mengikutsertakan teks “Kenangan Solferino.” Dunant mulai
berkorespondensi dengan Bertha von Suttner dan menulis banyak sekali artikel
dan tulisan lain. Dia terutama aktif menulis tentang hak-hak kaum perempuan.
Pada tahun 1897, Dunant memfasilitasi pendirian “Green Cross” (Palang Hijau),
sebuah organisasi perempuan yang berumur singkat dan hanya aktif di Brussels.
Hadiah Nobel
Perdamaian
Pada tahun 1901, Dunant menerima Hadiah Nobel Perdamaian pertama yang pernah dianugerahkan,
yaitu atas perannya dalam mendirikan Gerakan Palang Merah Internasional dan
mengawali proses terbentuknya Konvensi Jenewa. Dokter militer Norwegia, Hans
Daae, yang pernah menerima satu eksemplar buku tulisan Müller itu,
mengadvokasikan kasus Dunant kepada Panitia Nobel. Hadiah tersebut adalah
hadiah bersama yang diberikan kepada Dunant dan Frédéric
Passy, seorang
aktivis perdamaian Prancis yang mendirikan Liga Perdamaian dan yang aktif
bersama Dunant dalam Aliansi untuk Ketertiban dan Peradaban (Alliance for
Order and Civilization). Ucapan selamat resmi yang akhirnya diterima Dunant
dari Komite Internasional Palang Merah merepresentasikan rehabilitasi nama
Dunant:
“Tak ada
yang lebih layak untuk menerima kehormatan ini, karena Andalah yang empat puluh
tahun yang lalu mendirikan organisasi internasional bantuan kemanusiaan bagi
korban luka di medan tempur. Tanpa Anda, Palang Merah, yang merupakan prestasi
kemanusiaan yang agung abad kesembilan belas, barangkali tak akan pernah
diusahakan.”
Moynier dan Komite Internasional Palang Merah secara
keseluruhan juga dinominasikan untuk Hadiah Nobel Perdamaian tersebut. Meskipun
Dunant memperoleh dukungan dari kalangan luas dalam proses seleksi, dia tetap
merupakan calon yang kontroversial. Sejumlah pihak berargumen bahwa Palang Merah dan Konvensi Jenewa justru membuat perang menjadi lebih
menarik dan menggoda dengan meringankan sebagian dari penderitaan yang
ditimbulkan perang. Oleh karena itu, Müller dalam suratnya kepada Panitia Nobel
menyampaikan pendapat bahwa hadiah tersebut perlu dibagi antara Dunant dan
Passy, yang sempat menjadi calon utama untuk menjadi satu-satunya penerima
hadiah tersebut dalam perdebatan yang terjadi selama berlangsungnya proses
seleksi. Müller juga menyarankan bahwa sekiranya Dunant dianggap layak untuk
menerima Hadiah Nobel, hadiah tersebut perlu segera diberikan kepadanya
mengingat usianya yang telah lanjut dan kondisi kesehatannya yang sudah
memburuk.
Keputusan Panitia Nobel untuk membagi hadiah tersebut
antara Passy, seorang tokoh perdamaian, dan Dunant, seorang tokoh kemanusiaan,
menjadi preseden bagi persyaratan mengenai seleksi penerima Hadiah Nobel
Perdamaian yang berdampak signifikan pada tahun-tahun berikutnya. Salah satu
bagian dalam surat wasiat Nobel menyebutkan bahwa hadiah untuk perdamaian
diberikan kepada orang yang berupaya mengurangi atau menghapuskan pasukan tetap
(standing armies) atau berupaya untuk scara langsung mempromosikan
konferensi perdamaian. Inilah yang membuat Passy secara alamiah terpilih
menjadi calon penerima hadiah tersebut berkat usaha-usahanya di bidang
perdamaian. Pemberian Hadiah Nobel untuk usaha-usaha di bidang kemanusiaan saja
akan menjadi hal yang sangat mencolok, dan hal tersebut dianggap oleh sejumlah
pihak sebagai penafsiran yang terlalu luas atas surat wasiat Nobel. Akan
tetapi, satu bagian lain dalam surat wasiat Nobel menetapkan hadiah bagi orang
yang berprestasi terbaik dalam meningkatkan “persaudaraan antarmanusia” (the
brotherhood of people). Ini secara lebih umum bisa ditafsirkan sebagai
pesan bahwa usaha-usaha kemanusiaan seperti yang dilakukan oleh Dunant itu juga
terkait dengan usaha-usaha perdamaian. Penerima Hadiah Nobel Perdamaian pada
tahun-tahun berikutnya yang banyak jumlahnya itu dimasukkan ke dalam salah satu
dari dua kategori yang untuk pertama kalinya ditetapkan oleh keputusan Panitia
Nobel 1901 tersebut.
Hans Daae berhasil menaruh uang hadiah yang menjadi
bagian Dunant, sebesar 104.000 franc Swiss, di sebuah bank di Norwegia dan
mencegah uang tersebut diakses oleh para kreditor Dunant. Dunant sendiri tak
pernah memakai sedikit pun dari uang tersebut dalam hidupnya.
Kematian dan warisan
Di antara beberapa penghargaan lain yang diterima oleh
Dunant pada tahun-tahun berikutnya ialah gelar doktor kehormatan dari Fakultas
Kedokteran University of Heidelberg, yang diterimanya pada tahun 1903.
Dunant tinggal di panti jompo di Heiden hingga akhir hayatnya. Pada tahun-tahun
terakhir hidupnya, dia menderita depresi dan ketakutan (paranoia) bahwa dia
terus dicari-cari oleh para kreditornya dan Moynier. Bahkan Dunant
kadang-kadang mendesak juru masak panti jompo tersebut untuk mencicipi terlebih
dulu jatah makanannya di hadapan dia agar dia terlindung dari kemungkinan
diracuni. Meskipun mengaku tetap berkeyakinan Kristen, Dunant pada tahun-tahun
terakhir hidupnya menolak dan menyerang Kalvinisme dan agama terorganisasi (organized
religion) pada umumnya.
Menurut para juru rawatnya, tindakan terakhir yang
dilakukan Dunant dalam hidupnya ialah mengirimkan satu eksemplar buku tulisan
Müller kepada ratu Italia disertai surat pengantar dari Dunant sendiri. Dunant
meninggal dunia pada tanggal 30 Oktober 1910, dan kata-kata terakhirnya ialah
“Kemana lenyapnya kemanusiaan?” Dunant meninggal hanya dua bulan setelah musuh
bebuyutannya, Moynier. Meskipun ICRC menyampaikan ucapan selamat kepada Dunant
atas penganugerahan Hadiah Nobel tersebut, kedua rival ini tak pernah
berrekonsiliasi.
Sesuai keinginannya, Dunant dikuburkan tanpa upacara
di Kompleks Pemakaman Sihlfeld di Zurich. Dalam surat wasiatnya, dia
mendonasikan sejumlah uang untuk menyediakan satu “ranjang gratis” di panti
jompo di Heiden tersebut, yang harus selalu tersedia untuk warga miskin kawasan
itu. Dia juga memberikan sejumlah uang, melalui akte notaris, kepada
teman-temannya dan kepada organisasi amal di Norwegia dan Swiss. Sisa uangnya
dia berikan kepada para kreditornya sehingga sebagian utangnya lunas.
Ketidakmampuan Dunant untuk sepenuhnya melunasi utang-utangnya menjadi beban
besar baginya hingga hari kematiannya.
Hari ulang tahunnya, 8 Mei, dirayakan sebagai Hari
Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Sedunia (''World Red Cross and Red
Crescent Day''). Panti
jompo di Heiden yang dulu menampungnya itu sekarang menjadi Museum Henry
Dunant. Di Jenewa dan sejumlah kota lain ada banyak sekali jalan, lapangan, dan
sekolah yang dinamai dengan namanya. Medali Henry Dunant, yang dianugerahkan
setiap dua tahun oleh Komisi Tetap Gerakan Palang Merah dan Palang Merah
Internasional, merupakan penghargaan tertinggi yang dianugerahkan oleh Gerakan.
Kisah hidup Dunant diceritakan, dengan sejumlah unsur
fiksi, dalam film D'homme à hommes (1948) yang dibintangi oleh
Jean-Louis Barrault. Masa hidup Dunant ketika Palang Merah didirikan
ditampilkan dalam film produksi bersama internasional yang berjudul Henry
Dunant: Red on the Cross (2006). Pada tahun 2010, Takarazuka Revue
menggelar drama musikal berdasarkan pengalaman Dunant di Solferino dan proses
pendirian Palang Merah. Drama musikal ini berjudul ソルフェリーノの夜明け (Fajar di Solferino, atau Kemana Lenyapnya
Kemanusiaan?).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar