Mengetahui
Bagaimana Proses Penciptaan Manusia
Takdir telah ditetapkan 50.000 tahun sebelumnya
diciptakan Langit dan Bumi, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma :
“Sesungguhnya Allah menetapkan
takdir-takdir makhluknya 50.000 (Lima puluh ribu) Tahun sebelum menciptakan
langit-langit dan bumi.” (HR. Muslim 2653, shahih)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya.” (At Tin : 5)
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas bisa menjadi
bahan renungan buat kita! Sungguh kenyataannya terpampang di hadapan mata.
Alangkah sempurna penciptaannya dan alangkah indahnya! Lalu pernahkan kita
memikirkan dari mana kita diciptakan dan bagaimana tahap-tahap penciptaannya? Pernahkah
terpikir di benak kita bahwa tadinya kita berasal dari tanah dan dari setetes
mani yang hina?
Pembahasan berikut ini mengajak Anda untuk melihat
asal kejadian manusia agar hilang kesombongan di hati dengan kesempurnaan
jasmani yang dimiliki dan agar kita bertasbih memuji Allah ‘Azza wa Jalla
dengan kemahasempurnaan kekuasaan-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada para
Malaikat-Nya sebelum menciptakan Adam ‘Alaihis Salam :
“Sesungguhnya Aku akan menciptakan
manusia dari tanah.” (Shad : 71)
Begitu pula dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengingatkan orang-orang musyrikin yang ingkar dan sombong tentang dari apa
mereka diciptakan. Dia Yang Maha Tinggi berfirman :
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah
liat.” (Ash
Shaffat : 11)
Dua ayat di atas dan ayat-ayat Al Qur’an lainnya yang
serupa dengannya menunjukkan bahwasanya asal kejadian manusia dari tanah.
Barangsiapa yang mengingkari hal ini, sungguh ia telah kufur terhadap
pengkabaran dari Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri.
Berkaitan dengan hal di atas, maka Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah menentukan tahapan-tahapan penciptaan itu dan begitu pula
Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah memberikan kabar kepada kita akan
hal tersebut dalam hadits-haditsnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami
jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).
Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami
jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang,
lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia
makhluk yang berbentuk (lain). Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling
Baik.” (Al
Mukminun : 12-14)
“Wahai manusia, jika kamu dalam
keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka ketahuilah sesungguhnya Kami
telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari
segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan
yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam
rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang telah ditentukan, kemudian
Kami keluarkan kamu sebagai bayi … .” (Al Hajj : 5)
Ayat-ayat di atas menerangkan tahap-tahap penciptaan
manusia dari suatu keadaan kepada keadaan lain, yang menunjukkan akan
kesempurnaan kekuasaan-Nya sehingga Dia Jalla wa ‘Alaa saja yang berhak untuk
diibadahi.
Begitu pula penggambaran penciptaan Adam ‘Alaihis
Salam yang Dia ciptakan dari suatu saripati yang berasal dari tanah berwarna
hitam yang berbau busuk dan diberi bentuk.
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam)
dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.” (Al Hijr : 26)
Tanah tersebut diambil dari seluruh bagiannya,
sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dari segenggam
(sepenuh telapak tangan) tanah yang diambil dari seluruh bagiannya. Maka
datanglah anak Adam (memenuhi penjuru bumi dengan beragam warna kulit dan
tabiat). Di antara mereka ada yang berkulit merah, putih, hitam, dan di antara
yang demikian. Di antara mereka ada yang bertabiat lembut, dan ada pula yang
keras, ada yang berperangai buruk (kafir) dan ada yang baik (Mukmin).” (HR. Imam Ahmad, Abu Daud, dan
Tirmidzi, berkata Tirmidzi : ‘Hasan shahih’. Dishahihkan oleh Asy Syaikh
Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi juz 3 hadits 2355 dan Shahih
Sunan Abu Daud juz 3 hadits 3925)
Semoga Allah merahmati orang yang berkata dalam bait
syi’irnya :
Diciptakan manusia dari saripati
yang berbau busuk. Dan ke saripati itulah semua manusia akan kembali.
Setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Adam
‘Alaihis Salam dari tanah. Dia ciptakan pula Hawa ‘Alaihas Salam dari Adam,
sebagaimana firman-Nya :
“Dia menciptakan kamu dari seorang
diri, kemudian Dia jadikan daripadanya istrinya … .” (Az Zumar : 6)
Dalam ayat lain :
“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan
daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya … .” (Al A’raf : 189)
Dari Adam dan Hawa ‘Alaihimas Salam
inilah terlahir anak-anak manusia di muka bumi dan berketurunan dari air mani
yang keluar dari tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan hingga hari
kiamat nanti. (Lihat
Tafsir Ibnu Katsir juz 3 halaman 457)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan
sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia
menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (mani).” (As Sajdah : 7-8)
Imam Thabari rahimahullah dan selainnya mengatakan
bahwa diciptakan anak Adam dari mani Adam dan Adam sendiri diciptakan dari
tanah. (Lihat Tafsir Ath Thabari juz 9 halaman 202)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menempatkan nuthfah (yakni
air mani yang terpancar dari laki-laki dan perempuan dan bertemu ketika terjadi
jima’) dalam rahim seorang ibu sampai waktu tertentu. Dia Yang Maha Kuasa
menjadikan rahim itu sebagai tempat yang aman dan kokoh untuk menyimpan calon
manusia. Dia nyatakan dalam firman-Nya :
“Bukankah Kami menciptakan kalian
dari air yang hina? Kemudian Kami letakkan dia dalam tempat yang kokoh (rahim)
sampai waktu yang ditentukan.” (Al Mursalat : 20-22)
Dari nuthfah, Allah jadikan ‘alaqah
yakni segumpal darah beku yang bergantung di dinding rahim. Dari ‘alaqah
menjadi mudhghah yakni sepotong daging kecil yang belum memiliki bentuk.
Setelah itu dari sepotong daging bakal anak manusia tersebut, Allah Subhanahu
wa Ta’ala kemudian membentuknya memiliki kepala, dua tangan, dua kaki dengan
tulang-tulang dan urat-uratnya. Lalu Dia menciptakan daging untuk menyelubungi
tulang-tulang tersebut agar menjadi kokoh dan kuat. Ditiupkanlah ruh, lalu
bergeraklah makhluk tersebut menjadi makhluk baru yang dapat melihat,
mendengar, dan meraba. (Bisa dilihat keterangan tentang hal ini dalam kitab-kitab tafsir, antara
lain dalam Tafsir Ath Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, dan lain-lain)
Demikianlah kemahakuasaan Rabb Pencipta segala
sesuatu, sungguh dapat mengundang kekaguman dan ketakjuban manusia yang mau
menggunakan akal sehatnya. Semoga Allah meridhai ‘Umar Ibnul Khaththab, ketika
turun awal ayat di atas (tentang penciptaan manusia) terucap dari lisannya
pujian :
“Fatabarakallahu ahsanul khaliqin” Maha Suci Allah,
Pencipa Yang Paling Baik
Lalu Allah turunkan firman-Nya :
“Fatabarakallahu ahsanul khaliqin” untuk melengkapi ayat di atas.
(Lihat Asbabun Nuzul oleh Imam Suyuthi, Tafsir Ibnu Katsir juz 3 halaman 241,
dan Aysarut Tafasir Abu Bakar Jabir Al Jazairi juz 3 halaman 507-508)
Maha Kuasa Allah Tabaraka wa Ta’ala, Dia memindahkan
calon manusia dari nuthfah menjadi ‘alaqah. Dari ‘alaqah menjadi mudhghah dan
seterusnya tanpa membelah perut sang ibu bahkan calon manusia tersebut
tersembunyi dalam tiga kegelapan, sebagaimana firman-Nya :
“ … Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi
kejadian dalam tiga kegelapan … .” (Az Zumar : 6)
Yang dimaksud “tiga kegelapan” dalam ayat di atas adalah kegelapan
dalam selaput yang menutup bayi dalam rahim, kegelapan dalam rahim, dan
kegelapan dalam perut. Demikian yang dikatakan Ibnu ‘Abbas, Mujahid, ‘Ikrimah, Abu Malik, Adh
Dhahhak, Qatadah, As Sudy, dan Ibnu Zaid. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir juz 4
halaman 46 dan keterangan dalam Adlwaul Bayan juz 5 halaman 778)
Sekarang kita lihat keterangan tentang kejadian
manusia dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Abi
‘Abdurrahman ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata :
Telah menceritakan kepada kami Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam dan beliau adalah yang selalu benar (jujur) dan dibenarkan.
Beliau bersabda (yang artinya) “Sesungguhnya setiap kalian
dikumpulkan kejadiannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nuthfah.
Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga (40 hari). Kemudian menjadi
gumpalan seperti sekerat daging selama itu pula. Kemudian diutus kepadanya
seorang Malaikat maka ia meniupkan ruh kepadanya dan ditetapkan empat perkara,
ditentukan rezkinya, ajalnya, amalnya, sengsara atau bahagia. Demi Allah yang
tiada illah selain Dia, sungguh salah seorang di antara kalian ada yang beramal
dengan amalan ahli Surga sehingga tidak ada di antara dia dan Surga melainkan
hanya tinggal sehasta, maka telah mendahuluinya ketetapan takdir, lalu ia
beramal dengan amalan ahli neraka sehingga ia memasukinya. Dan sungguh salah
seorang di antara kalian ada yang beramal dengan amalan ahli neraka sehingga
tidak ada antara dia dan neraka melainkan hanya tinggal sehasta. Maka telah
mendahuluinya ketetapan takdir, lalu ia beramal dengan amalan ahli Surga
sehingga ia memasukinya.” (HR. Bukhari 6/303 -Fathul Bari dan Muslim 2643,
shahih)
Berita Nubuwwah di atas mengabarkan
bahwa proses perubahan janin anak manusia berlangsung selama 120 hari dalam
tiga bentuk yang tiap-tiap bentuk berlangsung selama 40 hari. Yakni 40 hari
pertama sebagai nuthfah, 40 hari kedua dalam bentuk segumpal darah, dan 40 hari
ketiga dalam bentuk segumpal daging. Setelah berlalu 120 hari, Allah
perintahkan seorang Malaikat untuk meniupkan ruh dan menuliskan untuknya 4
perkara di atas.
Dalam riwayat lain :
Malaikat masuk menuju nuthfah
setelah nuthfah itu menetap dalam rahim selama 40 atau 45 malam, maka Malaikat
itu berkata : “Wahai Rabbku! Apakah (nasibnya) sengsara atau bahagia?” Lalu ia
menulisnya. Kemudian berkata lagi : “Wahai Rabbku! Laki-laki atau perempuan?”
Lalu ia menulisnya dan ditulis (pula) amalnya, atsarnya, ajalnya, dan rezkinya,
kemudian digulung lembaran catatan tidak ditambah padanya dan tidak dikurangi. (HR. Muslim dan Hudzaifah bin
Usaid radhiallahu ‘anhu, shahih)
Dalam Ash Shahihain dari Anas bin Malik radhiallahu
‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
Allah mewakilkan seorang Malaikat
untuk menjaga rahim. Malaikat itu berkata : “Wahai Rabbku! Nuthfah, Wahai
Rabbku! Segumpal darah, wahai Rabbku! Segumpal daging.” Maka apabila Allah
menghendaki untuk menetapkan penciptaannya, Malaikat itu berkata : “Wahai
Rabbku! Laki-laki atau perempuan? Apakah (nasibnya) sengsara atau bahagia?
Bagaimana dengan rezkinya? Bagaimana ajalnya?” Maka ditulis yang demikian dalam
perut ibunya. (HR.
Bukhari `11/477 -Fathul Bari dan Muslim 2646 riwayat dari Anas bin Malik radhiallahu
‘anhu)
Dari beberapa riwayat di atas, ulama menggabungkannya
sehingga dipahami bahwasanya Malaikat yang ditugasi menjaga rahim terus
memperhatikan keadaan nuthfah dan ia berkata : “Wahai
Rabbku! Ini ‘alaqah, ini mudhghah” pada waktu-waktu tertentu saat terjadinya
perubahan dengan perintah Allah dan Dia Subhanahu wa Ta’ala Maha Tahu. Adapun
Malaikat yang ditugasi, ia baru mengetahui setelah terjadinya perubahan
tersebut karena tidaklah semua nuthfah akan menjadi anak. Perubahan nuthfah itu
terjadi pada waktu 40 hari yang pertama dan saat itulah ditulis rezki, ajal,
amal, dan sengsara atau bahagianya. Kemudian pada waktu yang lain, Malaikat
tersebut menjalankan tugas yang lain yakni membentuk calon manusia tersebut dan
membentuk pendengaran, penglihatan, kulit, daging, dan tulang, apakah calon
manusia itu laki-laki ataukah perempuan. Yang demikian itu terjadi pada waktu
40 hari yang ketiga saat janin berbentuk mudhghah dan sebelum ditiupkannya ruh
karena ruh baru ditiup setelah sempurna bentuknya.
Adapun sabda beliau Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam :
Apabila telah melewati nuthfah waktu
42 malam, Allah mengutus padanya seorang Malaikat, maka dia membentuknya dan
membentuk pendengarannya, panglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya.
Kemudian Malaikat itu berkata : “Wahai Rabbku! Laki-laki atau perempuan … .”
Al Qadhi ‘Iyadl dan selainnya mengatakan bahwasanya
sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam di atas tidak menunjukkan dhahirnya
dan tidak benar pendapat yang membawakan hadits ini pada makna dhahirnya. Akan
tetapi yang dimaksudkan maka dia membentuknya dan membentuk pendengarannya,
penglihatannya … dan seterusnya adalah bahwasanya Malaikat itu menulis yang
demikian, kemudian pelaksanaannya pada waktu yang lain (pada waktu 40 hari yang
ketiga) dan tidak mungkin pada waktu 40 hari yang pertama. Urutan perubahan
tersebut sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surat Al Mukminun ayat 12 sampai
14. (Lihat keterangan hal ini dalam Shahih Muslim Syarah Imam An Nawawi,
halaman 189-191)
Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah dalam Fathul Bari
(II/484) membawakan secara ringkas perkataan Ibnu Ash Shalah : “Adapun sabda
beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam hadits Hudzaifah bahwasanya
pembentukan terjadi pada awal waktu 40 hari yang kedua. Sedangkan dalam dhahir
hadits Ibnu Mas’ud dikatakan bahwa pembentukan baru terjadi setelah calon anak
manusia menjadi mudhghah (segumpal daging). Maka hadits yang pertama (hadits
Hudzaifah) dibawa pengertiannya kepada pembentukan secara lafadh dan secara
penulisan saja belum ada perbuatan, yakni pada masa itu disebutkan bagaimana
pembentukan calon anak manusia dan Malaikat yang ditugasi menuliskannya.”
Dalam ta’liq kitab Tuhfatul Wadud halaman 203-204
disebutkan bahwasanya hadits yang menyatakan Malaikat membentuk nuthfah setelah
berada di rahim selama 40 malam, tidaklah bertentangan dengan hadits-hadits
yang lain. Karena pembentukan Malaikat atas nuthfah terjadi setelah nuthfah
tersebut bergantung di dinding rahim selama 40 hari yakni ketika telah berubah
menjadi mudhghah. Wallahu A’lam.
Perubahan janin dari nuthfah menjadi
‘alaqah dan seterusnya itu berlangsung setahap demi setahap (tidak sekaligus).
Pada waktu 40 hari yang pertama, darah masih bercampur dengan nuthfah, terus
bercampur sedikit demi sedikit hingga sempurna menjadi ‘alaqah pada 40 hari
yang kedua, dan sebelum itu tidaklah ia dinamakan ‘alaqah. Kemudian ‘alaqah
bercampur dengan daging, sedikit demi sedikit hingga berubah menjadi mudhghah. (Lihat Fathul Bari)
Tatkala telah sempurna waktu 4 bulan, ditiupkanlah ruh
dan hal ini telah disepakati oleh ulama. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
membangun madzhabnya yang masyhur berdasarkan dhahir hadits Ibnu Mas’ud
bahwasanya anak ditiupkan ruh padanya setelah berlalu waktu 4 bulan. Karena itu
bila janin seorang wanita gugur setelah sempurna 4 bulan, janin tersebut
dishalatkan (telah memiliki ruh kemudian meninggal). Diriwayatkan yang demikian
juga dari Sa’id Ibnul Musayyib dan merupakan salah satu dari pendapatnya Imam
Syafi’i dan Ishaq.
Dinukilkan dari Imam Ahmad bahwasanya ia berkata : “Apabila
janin telah mencapai umur 4 bulan 10 hari, maka pada waktu yang 10 hari itu
ditiupkan padanya ruh dan dishalatkan atasnya (bila janin tersebut gugur).” (Lihat Iqadzul Himam Al Muntaqa min
Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam halaman 88-89 oleh Abi Usamah Salim bin ‘Ied Al
Hilali)
Kita lihat dalam hadits Ibnu Mas’ud di atas bahwasanya
penulisan Malaikat terjadi setelah berlalu waktu 40 hari yang ketiga. Sedangkan
pada riwayat-riwayat di atas, penulisan Malaikat terjadi setelah waktu 40 hari
yang pertama. Riwayat-riwayat tersebut tidaklah bertentangan.
Imam An Nawawi rahimahullah menerangkan dalam Syarah
Muslim (juz 5 halaman 191) setelah membawakan lafadh hadits dari Imam Bukhari
berikut ini (yang artinya) : ‘Sesungguhnya penciptaan setiap kalian
dikumpulkan dalam rahim ibunya selama 40 hari (sebagai nuthfah). Kemudian
menjadi segumpal darah selama itu juga. Kemudian menjadi segumpal daging selama
itu juga. Kemudian Allah mengutus seorang Malaikat dan diperintah (untuk
menuliskan) empat perkara, rezkinya dan ajalnya, sengsara atau bahagianya.
Kemudian ditiupkan ruh padanya … .’
Sabda beliau ((… IÎCç q¶ …)) dengan
menggunakan ((… q¶ …))
menunjukkan diakhirkannya penulisan Malaikat atas perkara-perkara tersebut
setelah waktu 40 hari yang ketiga. Sedangkan dalam hadits-hadits yang lain
penulisan itu ditetapkan setelah waktu 40 hari yang pertama. Jawaban dari
permasalahan ini adalah bahwasanya sabda beliau ((… DFlvÕ à¿©vÕ mnpÛ¯ tvÛª IÎCç q¶ …))
merupakan ma’thuf dari sabdanya ((… tݧ sc± æÕ ÏpJç …)) bukan
dengan sabda sebelumnya yakni ((… tnHÝ EÒZÝ àulç q¶ …)). Maka
sabda beliau ((… tnHÝ EÒZÝ àulç q¶ ¡tnHÝ EjnÌ àulç q¶ …))
merupakan kalimat sisipan antara ma’thuf dan ma’thuf ‘alaih dan yang demikian
ini dibolehkan dan biasa dijumpai dalam Al Qur’an, hadits yang shahih, dan
selainnya dari ucapan orang-orang Arab.”
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
“Sabda beliau ((… mÛ¿ tnHÝ EjnÌ àulç q¶ … ))
merupakan ma’thuf dari (( … DFlvÕ … )).
Adapun sabdanya (( … ÏpJç … ))
merupakan kesempurnaan dari kalimat-kalimat yang awal. Dan tidaklah yang
dimaksudkan bahwasanya penulisan Malaikat itu baru terjadi setelah selesai tiga
tahap kejadian (dari nuthfah sampai menjadi mudhghah). Bisa jadi (yang
diberitakan dalam hadits Ibnu Mas’ud) yang dimaksudkan adalah untuk susunan
berita saja, bukan susunan yang diberitakan.” (Fathul Bari 11/485)
Yang jelas penulisan takdir untuk janin di perut
ibunya bukanlah penulisan takdir yang ditetapkan untuk semua makhluk sebelum
makhluk itu dicipta. Karena takdir yang demikian telah ditetapkan 50.000 tahun
sebelumnya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dari Abdullah
bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma :
“Sesungguhnya Allah menetapkan
takdir-takdir makhluknya lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan
langit-langit dan bumi.” (HR. Muslim 2653, shahih)
Dalam hadits ‘Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu dari
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :
Pertama kali yang Allah ciptakan
adalah pena (Al Qalam). Lalu Dia berfirman kepadanya : “Tulislah!” Maka pena
menuliskan segala apa yang akan terjadi hingga hari kiamat. (HR. Abu Daud 4700, Tirmidzi 2100,
dan selain keduanya. Dishahihkan oleh Syaikh Salim Al Hilali dalam Iqadzul
Himam)
Banyak nash yang menyebutkan bahwa penetapan takdir
seseorang apakah ia termasuk orang yang bahagia atau sengsara telah ditulis
terdahulu. Antara lain dalam Shahihain dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Tidak ada satu jiwa melainkan Allah telah menulis
tempatnya di Surga atau di neraka dan telah ditulis sengsara atau bahagia.”
Maka seorang laki-laki berkata : “Wahai Rasulullah! Mengapa kita tidak
mengikuti (saja) ketentuan kita (yang telah ditulis) dan kita tinggalkan amal?”
Maka beliau bersabda : “Beramal-lah, maka setiap orang akan dimudahkan terhadap
apa yang ditetapkan baginya. Adapun orang yang bahagia akan dimudahkan baginya
untuk beramal dengan amalan orang yang bahagia. Adapun orang yang sengsara akan
dimudahkan baginya untuk beramal dengan amalan orang yang sengsara.” Kemudian
beliau membaca : “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan
bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (Surga), maka Kami kelak
akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. Al Lail : 5-7) [HR. Bukhari 3/225 -Fathul Bari
dan Muslim 2647]
Bahagia atau sengsara seseorang ditentukan oleh akhir
amalnya, sebagaimana diisyaratkan dalam hadits Ibnu Mas’ud di atas. Demikian
pula dalam hadits berikut, dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu ‘anhu dari Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :
“Sesungguhnya hanyalah amal-amal ditentukan pada
akhirnya (penutupnya).” (HR. Bukhari 11/330 -Fathul Bari)
Sebagai penutup dapat kita simpulkan bahwa Allah Maha
Kuasa menciptakan apa saja yang Dia kehendaki. Dia menciptakan manusia pertama
(Adam ‘Alaihis Salam) dari tanah, sedangkan anak-anak Adam berketurunan dengan
nuthfah hingga akhir kehidupan nanti. Dia tempatkan nuthfah dalam rahim ibu dan
dijaga oleh seorang Malaikat. Nuthfah ini kemudian pada akhirnya menjadi
segumpal daging dan dari segumpal daging terus berkembang hingga menjadi sosok
anak manusia kecil yang bernyawa lengkap dengan pendengaran, penglihatan,
tangan, dan kaki. Bersamaan dengan itu telah ditulis ketentuan takdir untuknya,
apakah rezkinya lapang ataukah sempit, apakah amalnya baik atau sebaliknya,
kapan datang ajalnya dan apakah ia termasuk hamba Allah yang beruntung ataukah
yang sengsara. Naudzubillah!
Dari tanah manusia berasal dan pada akhirnya akan
kembali menjadi tanah. Mungkin ini bisa menjadi bahan renungan untuk kita
semua. Wallahu A’lam Bis Shawab.
Daftar Bacaan :
1. Al Qur’anul Karim. 2. Adlwaul
Bayan. Asy Syaikh Muhammad Amin Asy Syinqithi. 3. Ad Durul Mantsur fi At Tafsir
Al Ma’tsur. Imam As Suyuthi. 4. Ahkamuth Thifli. Asy Syaikh Ahmad Al ‘Aysawi.
5. Asbabun Nuzul. Imam As Suyuthi. 6. ‘Aunul Ma’bud. Al Hafidh Ibnu Qayyim Al
Jauziyah. 7. Aysarut Tafasir. Asy Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi. 8. Fathul
Bari. Al Hafidh Ibnu Hajar Al Atsqalani. 9. Iqadzul Himam Al Muntaqa min Jami’
Al ‘Ulum wal Hikam. Syaikh Abi Usamah Salim bin ‘Ied Al Hilali. 10. Jami’ Al
‘Ulum wal Hikam. Al Hafidh Ibnu Rajab Al Hanbali. 11. Jami’ Al Bayan fi Ta’wil
Al Qur’an. Ibnu Jarir Ath Thabari. 12. Mu’jam Mufradat Alfadzil Qur’an. Al
‘Allamah Al Ashfahani. 13. Shahih Muslim Syarah An Nawawi. Imam An Nawawi. 14.
Shahih Sunan Abi Daud. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. 15. Shahih Sunan
At Tirmidzi. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. 16. Tafsir Ibnu Katsir. Al
Hafidh Ibnu Katsir. 17. Tafsir Al Qurthubi. Imam Al Qurthubi. Artinya : Jejak
kehidupannya. Ma’thuf merupakan istilah dalam ilmu nahwu yang bermakna kurang
lebih lafadh yang mengikuti lafadh tertentu yang terletak sebelumnya. Ma’thuf
‘alaih bermakna lafadh yang diikuti oleh lafadh tertentu yang terletak
sesudahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar